Hukum Berniaga melalui Dropship

السلام عليكم

Hari ni kita nak bincang pasal bisness TANPA MODAL.

intro,sebenarnya banyak jer cabang business yang tak perlukan modal. Tapi satu-satunya business yang ZERO MODAL 100%  ialah menjadi seorang dropshipper.

Bahasa mudah dropship ni orang tengah/ejen/tukang jual. Bahasa lain dropship ni seorang penjual yang hanya tolong promote(jual) barangan supplier. Barang2 semua tak de kat dia and tugas dia cuma promote and collect order dan bayaran jer.

Dalam konteks lain,kalau korang pergi kedai kasut B*t* contohnya. Bila nak bayar kasut tu,korang akan berhadapan dengan cashier kan. Adakah cashier tu pemilik kedai tu. 98% akan jawab tak. hehehe. So kat situ kita nampak cashier tu diupah dan diamanahkan utk tolong jual kasut2 kat kedai tu. dan dia dapat komisen melalui gaji bulanan yang dia dapat.

So sama je macam dropship ni cumanya ianya secara virtual. alam maya gituuu.

utk lebih faham konsep dropship ni. rasanya bolehlah tengok pic kat bawah ni.













"Mira,aku tak de 1 habuk pon pengalaman berniaga ni. Boleh ke aku cuba?"

= Bagi aku,dropship ni lah platform pertama utk yang mula berjinak dengan business. lagi2 utk student, Penting utk korang tahu,once dah involve dengan business ni especially secara online dan kau sorang je yang handle. Tambah plak order masuk bertubi2,makk aii tak menang tangan kauu.

"Boleh untung banyak ke berniaga melalui dropship ni?"

= Seperti yang aku cakap,dropship ni ZERO MODAL. So kau janganlah expect utk dapat untung 3k,10k or 100k sebulan.  Unless kau tu public figure or followers beratus ribu. hah yang tu tak mustahil, But if kau dah famos amous,alah tak yah lah jdi dropshipper. Create je business sendiri. target customer dah ada kan hahahaha.

Melalut plak dah,the truth is tak mustahil korang leh dpt income at least 1k sebulan kalau korang murah rezeki la. Ni based on pengalaman aku selama jadi dropship antaranya dropship dress dan tudung.

"Macam mana saya nak cari Supplier?"

= FACEBOOK! eh boleh caya ke? kalau tanya aku,aku akan cakap of koz ler boleh sebab aku contact dengan supplier aku menerusi fb jer. Tapi alhamdulillah supplier aku ni memang trusted betollah. Hari ni bankin esok pos.Lusa dah dapat kat customer. Nasihat aku,kalau 1st order supplier dah buat hal,better korang stop jer. cari supplier lain.


" Mira,bagi lerrr aku tips sikitt nak berdropship ni"

= Alahai ilmu aku mengenai business ni teramatlah cetek. Family aku pon bukan darah business. so apa yang aku tulis, hah anggaplah ini semua tips. haha

" Halal ke dropship ni? bukan ke kalau nak berjual beli,barang mesti ada dengan kita"

= Menda ni boleh difikirkan melalui pelbagai konteks dan persepsi. So aku sharekan info ni yang aku  dapat DARI SINI. aku pastekan kat bawah ni utk tatapan korang. tapi kalau ada komen pasal info ni boleh lah inform ya. dialu2kan.. info yang aku dapat ni dari web indon tapi aku rasa explanation dia paling senang nak faham dan jelas penerangannya. kalau tak faham juga boleh guna google translate. hehehehhe

السلام عليكم

Assalamu’alaikum
Mau tanya, apa hukum jualan menggunakan sistem dropship? Yaitu saya menjual barang yang belum ada pada saya ke si A. Begitu si A transfer, saya membeli dari si B dan si B tersebut mengirimkan barangnya ke si A menggunakan nama saya sebagai pengirim. Apakah jual beli seperti ini halal? mengingat ada hadis yang menyatakan

Diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkannya dari pasar? Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!” (HR. Abu Daud. Hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani).
Mohon penjelasannya.
Dari: Ikhwan Nurudin
Jawaban:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban singkatnya boleh. Lalu bagaimana penjelasannya, mari kita bahas dari awal.

Dalam hukum jual-beli, tidak ada syarat yang melarang seseorang menjual barang milik orang lain. Juga tidak ada keharusan seseorang harus punya barang terlebih dahulu, baru boleh dia jual. Jadi prinsipnya, seorang boleh menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya. Dan seseorang boleh menjual 'spek' yang barangnya belum dimilikinya.

Cara Pertama : Simsarah


Cara ini disebut simsarah, yaitu seeorang menjualkan barang milik orang lain dan dia mendapat fee atas jasa menjualkannya. Akad yang pertama ini disepakati kehalalnya oleh seluruh ulama.

Bukankah si penjaga toko biasanya bukan pemilik barang? Barang-barang yang ada di toko itu bukan milik penjaga. Status penjaga cuma karwayan saja, bukan pemilik toko dan juga bukan pemilik barang. Bolehkah penjaga toko menjual barang yang bukan miliknya? Jawabannya tentu 100% boleh. Justru tugas utama si penjual di toko adalah bagaimana menjualkan barang yang bukan miliknya.

Kalau penjaga toko menjual barang miliknya sendiri di toko tempat dia bekerja, itu namanya pelanggaran dan dia bisa dipecat oleh bosnya.

Dan lebih jauh, ternyata barang yang ada di toko itu pun belum tentu milik bosnya. Karena barang-barang itu ternyata cuma konsinyasi saja. Kalau barang itu laku, uangnya disetorkan, kalau tidak laku, barangnya dikembalikan. Jadi dalam hal ini status toko bukan sebagai pemilik barang, status toko hanya menjualkan barang milik orang lain.

Lalu bagaimana dengan hadits berikut ini yang melarang kita menjual sesuatu yang tidak ada pada diri kita?

لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ

Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki
                                                (HR. Tirmizy, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud)

Hadits ini melarang seseorang menjual barang yang bukan miliknya, maksudnya seseorang menjual barang yang memang dia tidak bisa mengadakannya atau menghadirkannya. Misalnya, jual ikan tertentu yang masih ada di tengah lautan lepas. Tentu tidak sah, karena tidak ada kepastian bisa didapat atau tidak. Atau jual mobil yang bisa terbang dengan tenaga surya. Untuk saat ini masih mustahil sehingga hukumnya haram.


Selain itu para ulama juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ini adalah seseorang menjual barang milik orang lain tanpa SEIZIN dari yang empunya. Perbuatan itu namanya pencurian alias nyolong.

Tapi kalau yang punya barang malah minta dijualkan, tentu saja hukumnya halal. Dan yang menjualkan berhak untuk mendapatkan fee atas jasa menjualkan.

Kesimpulannya : Tidak ada larangan menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya barang.

Cara Kedua : Akad Salam (Salaf)


Cara kedua disebut dengan jual-beli salam, atau akad salam. Terkadan juga disebut dengan akad salaf. Keduanya bermakna sama. Bentuknya merupakan kebalikan dari jual-beli hutang atau kredit. Dalam jual-beli secara hutang atau kredit, barangnya diberikan duluan tetapi uangnya masih dihutang, alias dicicil.

Contohnya jual-beli sepeda motor secara kredit. Bila kita beli motor secara kredit, motor langsung kita bawa pulang, padahal uangnya masih ngutang selama tiga tahun. Status motor sudah 100% milik kita, meski pembayarannya masih berjangka.

Nah, akad salam adalah kebalikan dari akad kredit di atas. Yang dibayarkan tunai adalah uangnya, sementara barang atau jasanya dihutang. Hukumnya boleh dan sah dalam hukum syariah. Dan sebenarnya setiap hari kita sudah mempraktekkan.

Contohnya ketika kita beli tiket pesawat atau kereta api. Menjelang musim mudik, biasanya kita sudah beli tiket sejak sebulan sebelumnya, dan itu berarti kita sudah bayar secara tunai. Tetapi barang atau jasa yang menjadi hak kita baru akan kita nikmati bulan depan, sesuai dengan jadwal perjalanan kita.

Contoh lain adalah tukang jualan komputer. Modalnya cuma brosur dan spek (baca : spesifikasi) yang ditawar-tawarkan kepada calon pembeli. Lalu begitu ada yang tertarik, pembeli harus bayar lunas, tetapi komputernya akan dikirim 2-3 hari lagi. Ternyata di tukang komputer itu belum punya komputer, maka dengan uang pembayaran itulah dia berangkat ke Glodok atau Mangga Dua untuk 'belanja' komputer rakitan. Selesai dirakit, maka komputer itu kemudian diantarkan ke pihak pembeli.

Contoh lainnya lagi adalah ibadah haji dan umrah. Semua calon jamaah haji dan umrah harus sudah melunasi ONH atau biaya perjalanan umrah beberapa bulan sebelumnya. Padahal berangkatnya ke tanah suci masih beberapa waktu lagi.

Semua contoh di atas adalah akad salam, dimana uangnya tunai diserahkan, sementara barang atau jasanya tidak secara tunai diberikan. Dan praktek akad salam ini telah berlangsung di masa Nabi SAW dan mendapat pembenaran.


Para shahabat dahulu terbiasa menjual kurma yang belum ada alias pohonnya belum berbuah. Namun buah yang rencananya akan ada itu sudah ditetapkan secara detail dengan jenis tertentu, kualitas tertentu, berat tertentu, dan juga ditetapkan kapan akan diserahkannya. 

Tentu kurma dengan spek seperti itu bukan hal yang mustahil untuk didapat atau diwujudkan, apalagi buat pedagang kurma di Madinah. Mereka toh sudah punya pohonnya, tiap tahun pasti berbuah. Maka oleh karena itu hukumnya halal. Dan akad ini disebut akad salam. Meski kurmanya belum berbuah, tetapi sudah boleh dijual duluan, asalkan speknya jelas dan pasti.
Dasarnya adalah hadits-hadits berikut ini :

عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَقَدِمَ اَلنَّبِيُّ ص اَلْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَمَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa menjual buah kurma dengan cara salaf  satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda,"Siapa menjual buah kurma dengan cara salaf, maka lakukanlah salaf itu dengan timbangan yang tertentu, berat tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)


وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالاكُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَِسَلَّمَ وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ وَفِي رِوَايَةٍوَالزَّيْتِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قِيلَأَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ؟ قَالامَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ - رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ


Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Auf RA keduanya mengatakan,"Kami biasa mendapat ghanimah bersama Rasulullah SAW. Datang orang-orang dari negeri syam. Lalu kami melakukan akad salaf kepada mereka untuk dibayar gandum atau sya’ir atau kismis dan minyak sampai kepada masa yang telah tertentu. Ketika ditanyakan kepada kami,"Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab kedua sahabat ini,"Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”. (HR Bukhari dan Muslim)


قال ابن عباس : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحل الله في كتابه وأذن فيه ثم قرأ هذه الآية (أخرجه الشافعي في مسنده)

Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia telah mengizinkannya. Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR Asy-Syafi'i dalam musnadnya)


Dropship Halal
Dari dua cara akad di atas, maka jual beli dropship ini tidak melanggar ketentuan syariah.  Meski kita sebagai penjual belum punya barangnya, dan modal kita cuma spek saja, tetapi syariat Islam membolehkan akad seperti ini. Akadnya bisa saja sebagai simsarah, atau broker.

 Mungkin yang agak mendekati adalah resaler. Berarti kita tidak membeli barang atau jasa, kita hanya membantu menjualkan barang atau jasa orang lain. Lalu kita mendapat fee dari tiap penjualan.
Atau akadnya bisa juga pakai akad kedua, yaitu akad salam. Pembeli membayar dulu kepada kita atas suatu barang atau jasa yang belum kita serahkan, bahkan belum kita miliki.

Lalu uang pembayarannya itu baru kita belikan barang yang dimaksud, dan kita jualkan kepada si pembeli, dimana kita mendapatkan selisih harganya. 


Kalau barang itu mau diatas-namakan milik kita juga boleh, karena kita memang benar-benar membeli dari sumbernya dan kita menjual kembali. Bahwa barang itu tidak sempat mampir ke tangan kita, tidak menjadi masalah. 
Toh, minyak kelapa sawit yang ada di hutan Kalimantan itu dijual ke berbagai negara lain (ekspor), tanpa harus mampir ke rumah pemiliknya. Siapa pemiliknya? Ya, wong londho yang ada di Belanda sana. Mereka cuma tahu bahwa rekening mereka tiap hari bertambah terus, tanpa pernah melihat sendiri kayak apa minyak kelapa sawit yang mereka perjual-belikan.
Hanya saja dalam akad salam ini, harus dipenuhi beberapa syarat dan ketentuan, antara lain :

Syarat Pada Barang

1. Bukan Ain-nya Tapi Spesifikasinya

Dalam akad salam, penjual tidak menjual ain suatu barang tertentu yang sudah ditetapkan, melainkan yang dijual adalah barang dengan spesifikasi tertentu.
Sebagai contoh, seorang pedagang material bangunan menjual secara salam 10 kantung semen dengan merek tertentu dan berat tertentu kepada seorang pelanggan. Kesepakatannya pembayaran dilakukuan saat ini juga, namun penyerahan semennya baru 2 bulan kemudian, terhitung sejak akad itu disepakati.

Walaupun saat itu mungkin saja si pedagang punya 10 kantung semen yang dimaksud di gudangnya, namun dalam akad salam, bukan berarti yang harus diserahkan adalah 10 kantung itu. Pedagang itu boleh saja dia menjual ke-10 kantung itu saat ini ke pembeli lain, asalkan nanti pada saat jatuh tempo 2 bulan kemudian, dia sanggup menyerahkan 10 kantung semen sesuai kesepakatan.
Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung yang tersedia di gudang, tapi yang dijual adalah 10 kantung yang lain, yang mana saja, asalkan sesuai spesifikasi.


2. Barang Jelas Spesifikasinya

Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya, baik kualitas mau pun juga kuantitas. Termasuk misalnya jenis, macam, warna, ukuran, dan spesifikasi lain. Pendeknya, setiap kriteria yang diinginkan harus ditetapkan dan dipahami oleh kedua-belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada di hadapan mereka berdua.
Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi komplain dari kedua belah pihak.
Sedangkan barang yang tidak ditentukan kriterianya, tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena akad itu termasuk akad gharar (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:

أنَّ النبي ص نهى عن بيع الغرررواه مسلم

Nabi SAW jual-beli untung-untungan." (HR Muslim)


3. Barang Tidak Diserahkan Saat Akad

Apabila barang itu diserahkan tunai, maka tujuan utama dari salam malah tidak tercapai, yaitu untuk memberikan keleluasan kepada penjual untuk bekerja mendapatkan barang itu dalam tempo waktu tertentu.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :


مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan bahwa salam itu adalah salaf, dimana akad itu memang sejak awal ditetapkan untuk pembayaran di awal dengan penyerahan barang belakangan.


4. Batas Minimal Penyerahan Barang


Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan minimal jatuh tempo yang disepakati adalah setengah hari dan tidak boleh kurang dari itu.
Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya 1 hari.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimal jarak penyerahan barang adalah 2 atau 3 hari sejak akad dilakukan.
Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari hukum khiyar syarat.


5. Jelas Waktu Penyerahannya


Harus ditetapkan di saat akad dilakukan tentang waktu (jatuh tempo) penyerahan barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :

إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)


Para fuqaha sepakat bila dalam suatu akad salam tidak ditetapkan waktu jatuh temponya, maka akad itu batal dan tidak sah. Dan ketidak-jelasan kapan jatuh tempo penyerahan barang itu akan membawa kedua-belah pihak ke dalam pertengkaran dan penzaliman atas sesama.

Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan tanggal, bulan, atau tahun tertentu, atau dengan jumlah hari atau minggu atau bulan terhitung sejak disepakatinya akad salam itu.


6. Dimungkinkan Untuk Diserahkan Pada Saatnya

Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari'at Islam.

Misalnya seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:

لا ضَرَرَ ولا ضِرَار

Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan. (HR. Ahmad)

Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.

7. Jelas Tempat Penyerahannya

Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.

Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur gharar (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.


Demikian sedikit ulasan tentang hukum dropshipping yang Antum tanyakan, semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahamtullahi wabrakatuh,


Itu jer. sekian. maaf sangat kalau post ni panjang sangatt. hehehehe


Post a Comment

0 Comments

Ad Code

Responsive Advertisement